JAHATNYA TEKNOLOGI TERHADAP ANAK
FOTO dan video
dari telepon genggam yang beredar di internet meningkat jumlahnya. Ini
menjadi wajar seiring telepon genggam berkamera dan video telah
menyandang predikat “HP sejuta umat.” Sebagian besar dari “sejuta umat”
adalah kalangan generasi muda-anak hingga berumur 18 tahun-merupakan
pengadopsi awal (early adopter) dari berbagai produk teknologi. Sesuai
dengan judul, tentunya materi visual yang beredar tersebut bukanlah
materi yang pantas dilihat orang kebanyakan. Hal ini membuat anak
menjadi tersangka utama sekaligus korban dari kasus-kasus ini.
Pelaku ataupun korban dalam kasus di atas sesungguhnya hanyalah korban dari sisi negatif teknologi. Semua ini terjadi, secara tidak langsung, atas izin orangtua yang membebaskan pengadopsian teknologi tanpa pendampingan.
Banyak bukti sisi negatif teknologi yang tidak disadari beredar di hadapan orangtua. Sebuah bukti sempat direkam dalam kamera video di sebuah sekolah dasar negeri percontohan di Bogor. Pada suatu hari Jumat siang, sejumlah murid asyik bermain perang-perangan menggunakan crossbow (panah menggunakan pelatuk seperti pistol) yang terbuat dari kayu yang dijual di pagar sekolahan. Pada saat yang sama, di sekeliling murid-murid tersebut guru-guru dan orang tua murid yang sedang menunggu terlihat tidak menyadari kejadian ini.
Tidak ada satu pun orang dewasa yang memerhatikan bagaimana anak-anak itu berinteraksi dengan kawan-kawan dan crossbow-nya. Murid-murid tersebut berkonspirasi, berstrategi, dan menghayati permainan dengan menampilkan mimik muka para prajurit perang yang siap menghabisi lawan. Tidak ada suatu hal pun yang meng-orkestrasi semua gaya anak-anak itu kecuali alam bawah sadarnya yang sudah dibentuk oleh televisi. Bukti visual ini pun menangkap sebuah interaksi yang sangat mirip dengan acara-acara perburuan dan penyergapan terhadap para penjahat yang acap kali disiarkan di televisi.
Memang sebagian besar keluarga di Indonesia masih menempatkan televisi di ruang keluarga. Celakalah para orangtua yang menempatkan televisi di kamar anak-anaknya karena mereka telah meletakkan racun pikiran tepat di jantung sasaran. Salah satu dampak negatif televisi adalah melatih anak untuk berpikir pendek dan bertahan berkonsentrasi dalam waktu yang singkat (short span of attention).
Sekarang banyak dijumpai anak-anak yang dicap malas belajar. Mungkin mereka bukan malas belajar. Otak mereka sudah tidak mampu menyerap bahan pelajaran dalam jangka waktu lebih lama dari jarak di antara dua spot iklan akibat pengondisian acara televisi.
televisi begitu dahsyatnya, bagaimana dengan komputer? Sejumlah penelitian bidang teknologi pendidikan menyatakan bahwa komputer memiliki dampak negatif terhadap pendidikan dan perkembangan anak sama banyaknya.
Menurut Paul C Saettler dari California State University, Sacramento, hasil tersebut muncul karena banyak penelitian membandingkan pendidikan yang konvensional dan yang dibantu teknologi tidak pernah berhasil melakukan perbandingan setara karena banyaknya aspek yang tidak teramati. Satu hal yang pasti, interaksi anak dan komputer yang bersifat satu (orang) menghadap satu (mesin) mengakibatkan anak menjadi tidak cerdas secara sosial.
Seperti halnya televisi, meletakkan komputer dengan CD-ROM di dalam kamar anak sama bahayanya. Hal ini, selain memungkinkan anak terlalu sibuk bermain game, komputer dengan CD-ROM memungkinkan masuknya VCD porno ke kamar anak tanpa sepengetahuan orangtua.
Untuk keluarga yang memiliki lebih dari satu komputer di rumah sangat disarankan untuk membangun jaringan komputer rumah, di mana hanya komputer pusat yang terletak di ruang publik yang memiliki CD-ROM agar pengaksesan CD-ROM ini dari kamar anak- anak dapat terawasi. Akhir- akhir ini dampak VCD porno bajakan sungguh meresahkan. Hal ini diakibatkan begitu mudahnya mendapatkan VCD bajakan dan memainkannya pada sebuah VCD player sehingga anak balita pun mampu mengoperasikan untuk menyaksikan Teletubbies kesayangannya.
BEGITU juga dengan internet. Akses internet harus diletakkan di ruang publik untuk mencegah anak menjadi korban predator pedofilia di internet atau perbuatan melanggar hukum yang tidak disadarinya, seperti berbagi file secara ilegal (illegal file sharing). Kita tidak bisa mencegah anak berinteraksi dengan internet karena di dalamnya banyak pula hal yang bermanfaat. Hasil penelitian terakhir pun menyatakan tak ada satu peranti lunak pun yang mampu menggantikan tugas orangtua mengawasi kegiatan anaknya di internet.
Tulisan ini tidak untuk mencegah atau menakut-nakuti orangtua agar membatasi interaksi anaknya dengan teknologi. Tulisan ini bermaksud mengajak orangtua untuk berperan aktif dalam melindungi anaknya dari sisi negatif teknologi.
Perlindungan yang diberikan bukan dengan membuat anak menjadi steril dari teknologi, tetapi immune, yaitu dengan memberikan pendampingan terhadap anak dalam berinteraksi dengan teknologi. Berikan anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dan tidak berlebihan.
Seyogianya orangtua tidak bersembunyi di balik ketidakmampuan mengadopsi teknologi. Orangtua telah lebih banyak memakan asam garam hidup ini. Teknologi boleh berbeda, tetapi cara manusia menggunakannya masih sama.
Dahulu, isu mengenai seseorang berhubungan seks di luar nikah beredar dari mulut ke mulut. Biasanya beredar saat pasangan tersebut putus dan diedarkan oleh pihak yang sakit hati. Kini gosip itu beredar dalam rekaman video ataupun foto. Lebih parah lagi, internet mempercepat peredarannya.
Sekali beredar di internet, akan susah menghapusnya. Pencegahannya sungguh merupakan hal yang tidak berhubungan dengan teknologi sama sekali, yaitu pendampingan orangtua terhadap anak dalam interaksi anak dengan teknologi dan proses internalisasi nilai- nilai positif kepada anak-anak oleh orang tua.
Memang anak lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, tetapi orangtua pun memiliki nilai lebih karena orangtua telah lebih dulu mengenyam berbagai pengalaman hidup. Kombinasi kedua hal ini akan menjamin proses mengadopsi teknologi dalam kehidupan keluarga menjadi lebih positif. Orangtua dan anak dapat meningkatkan kualitas waktu bersama dengan cara ini. Dengan demikian, orangtua akan mampu mencegah teknologi dan kejahatannya memisahkan keluarga yang dicintainya.
Jaha Nababan Penerima Fulbright Lulusan Boston University School of Education Jurusan Educational Media and Technology, Penggiat Teknologi Pendidikan
Pelaku ataupun korban dalam kasus di atas sesungguhnya hanyalah korban dari sisi negatif teknologi. Semua ini terjadi, secara tidak langsung, atas izin orangtua yang membebaskan pengadopsian teknologi tanpa pendampingan.
Banyak bukti sisi negatif teknologi yang tidak disadari beredar di hadapan orangtua. Sebuah bukti sempat direkam dalam kamera video di sebuah sekolah dasar negeri percontohan di Bogor. Pada suatu hari Jumat siang, sejumlah murid asyik bermain perang-perangan menggunakan crossbow (panah menggunakan pelatuk seperti pistol) yang terbuat dari kayu yang dijual di pagar sekolahan. Pada saat yang sama, di sekeliling murid-murid tersebut guru-guru dan orang tua murid yang sedang menunggu terlihat tidak menyadari kejadian ini.
Tidak ada satu pun orang dewasa yang memerhatikan bagaimana anak-anak itu berinteraksi dengan kawan-kawan dan crossbow-nya. Murid-murid tersebut berkonspirasi, berstrategi, dan menghayati permainan dengan menampilkan mimik muka para prajurit perang yang siap menghabisi lawan. Tidak ada suatu hal pun yang meng-orkestrasi semua gaya anak-anak itu kecuali alam bawah sadarnya yang sudah dibentuk oleh televisi. Bukti visual ini pun menangkap sebuah interaksi yang sangat mirip dengan acara-acara perburuan dan penyergapan terhadap para penjahat yang acap kali disiarkan di televisi.
Memang sebagian besar keluarga di Indonesia masih menempatkan televisi di ruang keluarga. Celakalah para orangtua yang menempatkan televisi di kamar anak-anaknya karena mereka telah meletakkan racun pikiran tepat di jantung sasaran. Salah satu dampak negatif televisi adalah melatih anak untuk berpikir pendek dan bertahan berkonsentrasi dalam waktu yang singkat (short span of attention).
Sekarang banyak dijumpai anak-anak yang dicap malas belajar. Mungkin mereka bukan malas belajar. Otak mereka sudah tidak mampu menyerap bahan pelajaran dalam jangka waktu lebih lama dari jarak di antara dua spot iklan akibat pengondisian acara televisi.
televisi begitu dahsyatnya, bagaimana dengan komputer? Sejumlah penelitian bidang teknologi pendidikan menyatakan bahwa komputer memiliki dampak negatif terhadap pendidikan dan perkembangan anak sama banyaknya.
Menurut Paul C Saettler dari California State University, Sacramento, hasil tersebut muncul karena banyak penelitian membandingkan pendidikan yang konvensional dan yang dibantu teknologi tidak pernah berhasil melakukan perbandingan setara karena banyaknya aspek yang tidak teramati. Satu hal yang pasti, interaksi anak dan komputer yang bersifat satu (orang) menghadap satu (mesin) mengakibatkan anak menjadi tidak cerdas secara sosial.
Seperti halnya televisi, meletakkan komputer dengan CD-ROM di dalam kamar anak sama bahayanya. Hal ini, selain memungkinkan anak terlalu sibuk bermain game, komputer dengan CD-ROM memungkinkan masuknya VCD porno ke kamar anak tanpa sepengetahuan orangtua.
Untuk keluarga yang memiliki lebih dari satu komputer di rumah sangat disarankan untuk membangun jaringan komputer rumah, di mana hanya komputer pusat yang terletak di ruang publik yang memiliki CD-ROM agar pengaksesan CD-ROM ini dari kamar anak- anak dapat terawasi. Akhir- akhir ini dampak VCD porno bajakan sungguh meresahkan. Hal ini diakibatkan begitu mudahnya mendapatkan VCD bajakan dan memainkannya pada sebuah VCD player sehingga anak balita pun mampu mengoperasikan untuk menyaksikan Teletubbies kesayangannya.
BEGITU juga dengan internet. Akses internet harus diletakkan di ruang publik untuk mencegah anak menjadi korban predator pedofilia di internet atau perbuatan melanggar hukum yang tidak disadarinya, seperti berbagi file secara ilegal (illegal file sharing). Kita tidak bisa mencegah anak berinteraksi dengan internet karena di dalamnya banyak pula hal yang bermanfaat. Hasil penelitian terakhir pun menyatakan tak ada satu peranti lunak pun yang mampu menggantikan tugas orangtua mengawasi kegiatan anaknya di internet.
Tulisan ini tidak untuk mencegah atau menakut-nakuti orangtua agar membatasi interaksi anaknya dengan teknologi. Tulisan ini bermaksud mengajak orangtua untuk berperan aktif dalam melindungi anaknya dari sisi negatif teknologi.
Perlindungan yang diberikan bukan dengan membuat anak menjadi steril dari teknologi, tetapi immune, yaitu dengan memberikan pendampingan terhadap anak dalam berinteraksi dengan teknologi. Berikan anak sesuai dengan apa yang mereka butuhkan dan tidak berlebihan.
Seyogianya orangtua tidak bersembunyi di balik ketidakmampuan mengadopsi teknologi. Orangtua telah lebih banyak memakan asam garam hidup ini. Teknologi boleh berbeda, tetapi cara manusia menggunakannya masih sama.
Dahulu, isu mengenai seseorang berhubungan seks di luar nikah beredar dari mulut ke mulut. Biasanya beredar saat pasangan tersebut putus dan diedarkan oleh pihak yang sakit hati. Kini gosip itu beredar dalam rekaman video ataupun foto. Lebih parah lagi, internet mempercepat peredarannya.
Sekali beredar di internet, akan susah menghapusnya. Pencegahannya sungguh merupakan hal yang tidak berhubungan dengan teknologi sama sekali, yaitu pendampingan orangtua terhadap anak dalam interaksi anak dengan teknologi dan proses internalisasi nilai- nilai positif kepada anak-anak oleh orang tua.
Memang anak lebih cepat beradaptasi dengan teknologi, tetapi orangtua pun memiliki nilai lebih karena orangtua telah lebih dulu mengenyam berbagai pengalaman hidup. Kombinasi kedua hal ini akan menjamin proses mengadopsi teknologi dalam kehidupan keluarga menjadi lebih positif. Orangtua dan anak dapat meningkatkan kualitas waktu bersama dengan cara ini. Dengan demikian, orangtua akan mampu mencegah teknologi dan kejahatannya memisahkan keluarga yang dicintainya.
Jaha Nababan Penerima Fulbright Lulusan Boston University School of Education Jurusan Educational Media and Technology, Penggiat Teknologi Pendidikan
ooo gitu to?!!!