Pendidikan Karakter Anak, masih Bias???
Jakarta: Dari 18 nilai pendidikan karakter yang
dikeluarkan Mendiknas, ada tiga hal yang menjadi sorotan karena dianggap
bias. Tiga hal itu terkait nilai kejujuran, berani, dan multikultural.
"Pendidikan karakter ini tidak diberi nilai tetapi menjadi kebiasaan keseharian di sekolah-sekolah, sehingga membentuk budaya. Namun pada kenyataanya karakter ini tidak menyentuh, karakter yang mana?" ujar Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (4/10).
Soal nilai kejujuran, Retno mencontohkan, penyangkalan Mendiknas atas kasus kecurangan Ujian Nasional di SD Gadel II Surabaya, Jawa Timur. Ini adalah suatu indikasi Mendiknas mencederai pendidikan karakter nilai kejujuran yang dicanangkannya. "Padahal para guru dan kepala sekolah sudah mengakui perbuatanya. Selain itu sekolahan ini justru malah mendapat reward sejumlah perangkat komputer. Pendidikan karakter seperti apa ini?" singgung Retno.
Kemudian nilai multikultual, Retno melihat karakter yang ditanamkan selama ini dalam pendidikan secara sistematik justru pendidikan yang monokultural. Hal ini menurut Retno bisa dilihat di sekolah-sekolah di Indonesia yang mencantumkan kata 'akhlak mulia' sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
"Hal ini mendorong terjadinya penyeragaman di sekolah-sekolah negeri semakin kuat dan menyentuh luas aspek privat. Akhlak cenderung dimaknai sebagai tujuan membentuk lulusan agamis," jelas Retno.
Kata agamis tersebut, lanjut Retno dirasakan sebagai 'Islamis' pada penduduk yang mayoritas Islam. Sementara di wilayah Timur hal ini bermakna 'Kristen'. "Pokoknya pemaknaan akan muncul sebagai identitas kelompok dengan didasarkan pada mayoritas dalam komunitas tersebut."
Begitupun terkait nilai keberanian. Retno menganggap pendidikan yang diterapkan dengan penyeragaman telah memandulkan potensi kritis peserta didik. Pendidikan semacam ini menurut dia tak akan membangun keberanian peserta didik, bahkan sekedar berpendapat sekalipun.
"Guru dan siswa ibarat tuan dengan pembantunya, tidak ada kesetaraan. Sehingga anak yang protes dianggap tidak baik, sementa anak yang penurut dianggap baik. Sehingga mereka tidak bisa melawan kebijakan yang mereka anggat tidak baik," contohnya.(AIS)
"Pendidikan karakter ini tidak diberi nilai tetapi menjadi kebiasaan keseharian di sekolah-sekolah, sehingga membentuk budaya. Namun pada kenyataanya karakter ini tidak menyentuh, karakter yang mana?" ujar Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti dalam jumpa pers di kantor ICW, Jakarta Selatan, Selasa (4/10).
Soal nilai kejujuran, Retno mencontohkan, penyangkalan Mendiknas atas kasus kecurangan Ujian Nasional di SD Gadel II Surabaya, Jawa Timur. Ini adalah suatu indikasi Mendiknas mencederai pendidikan karakter nilai kejujuran yang dicanangkannya. "Padahal para guru dan kepala sekolah sudah mengakui perbuatanya. Selain itu sekolahan ini justru malah mendapat reward sejumlah perangkat komputer. Pendidikan karakter seperti apa ini?" singgung Retno.
Kemudian nilai multikultual, Retno melihat karakter yang ditanamkan selama ini dalam pendidikan secara sistematik justru pendidikan yang monokultural. Hal ini menurut Retno bisa dilihat di sekolah-sekolah di Indonesia yang mencantumkan kata 'akhlak mulia' sebagaimana tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003.
"Hal ini mendorong terjadinya penyeragaman di sekolah-sekolah negeri semakin kuat dan menyentuh luas aspek privat. Akhlak cenderung dimaknai sebagai tujuan membentuk lulusan agamis," jelas Retno.
Kata agamis tersebut, lanjut Retno dirasakan sebagai 'Islamis' pada penduduk yang mayoritas Islam. Sementara di wilayah Timur hal ini bermakna 'Kristen'. "Pokoknya pemaknaan akan muncul sebagai identitas kelompok dengan didasarkan pada mayoritas dalam komunitas tersebut."
Begitupun terkait nilai keberanian. Retno menganggap pendidikan yang diterapkan dengan penyeragaman telah memandulkan potensi kritis peserta didik. Pendidikan semacam ini menurut dia tak akan membangun keberanian peserta didik, bahkan sekedar berpendapat sekalipun.
"Guru dan siswa ibarat tuan dengan pembantunya, tidak ada kesetaraan. Sehingga anak yang protes dianggap tidak baik, sementa anak yang penurut dianggap baik. Sehingga mereka tidak bisa melawan kebijakan yang mereka anggat tidak baik," contohnya.(AIS)
0 Response to Pendidikan Karakter Anak, masih Bias???
Posting Komentar